MANIFESTO ERA KEGELAPAN KETUHANAN
Sebuah Otopsi Filosofis atas Peradaban yang Menggali Kuburnya Sendiri
Di ambang peradaban yang terus merayakan dirinya dengan penuh kebanggaan kosong, manusia akhirnya harus menatap cermin paling brutal dalam sejarahnya: zaman kegelapan yang paling kelam. Bukan kegelapan kosmis, bukan nubuat kiamat, bukan murka langit melainkan kegelapan yang lahir langsung dari manusia itu sendiri, dari kebodohan yang dipoles menjadi kemajuan, dari keserakahan yang dijadikan normal, dan dari spiritualitas yang dikemas ulang sebagai dekorasi moral. Selamat datang di Era Kegelapan Ketuhanan, masa ketika yang suci dipreteli, yang sakral digradasi menjadi retorika, dan yang ilahi ditukar dengan harga promo ambisi manusia.
Nilai-nilai sakral dulu inti batin manusia kini berubah menjadi fosil indah yang hanya dipajang sebagai ornamen nostalgia. Kesucian tidak lenyap; ia hanya ditinggalkan ketika manusia sadar bahwa ia lebih mudah memuja dirinya sendiri daripada tunduk pada sesuatu yang lebih besar dari egonya. Ironisnya, manusia modern sangat bangga dengan pencerahan, padahal yang mereka lakukan hanyalah menyalakan lampu neon di gua kebodohan dan menyebutnya cahaya. kehampaan eksistensial yang terlalu memalukan untuk diakui. Dan ketika nilai itu tidak lagi menguntungkan, manusia membuangnya seperti draft yang gagal menarik perhatian dunia maya.
Era modernisasi sering dibungkus sebagai kemajuan besar umat manusia. Dalam kenyataannya, modernisasi hanyalah akselerasi menuju kebangkrutan nilai. Teknologi memperluas kemampuan, tetapi juga mempersempit kedalaman batin. Peradaban semakin cepat, tetapi pemahaman semakin dangkal. Manusia semakin terhubung, tetapi maknanya semakin tercerabut. Dan dalam percepatan itu, manusia tak lagi bertanya “siapa aku?” melainkan “apa lagi yang bisa kutaklukkan?” Modernisasi yang terkontaminasi kekerasan dan nafsu kuasa menjadikan manusia bukan makhluk beradab, melainkan predator yang lebih efisien.
Di era ini, manusia tidak lagi mencari Tuhan ia menemukan penggantinya: kekuasaan. Kekuasaan adalah altar baru tempat manusia mempersembahkan moralnya sebagai tumbal. Semakin tamak seseorang, semakin ia dipuja sebagai “visioner”. Semakin ia serakah, semakin ia disebut “efektif”. Semakin ia memanipulasi, semakin ia dipandang “strategis”. Kekerasan bukan lagi kecelakaan sejarah, melainkan instrumen politik, bahasa ekonomi, dan ritual sosial. Peradaban kini bergerak seperti mesin raksasa yang digerakkan oleh dua energi inti: rakus dan takut. Rakus untuk mengambil, takut kehilangan. Dan dalam tarian absurditas itu, manusia perlahan menghapus sendiri nilai-nilai yang dulu ia sebut suci.
Era yang katanya terang ini justru memperlihatkan sisi paling gelap manusia: ketika ia punya kuasa, tetapi kehilangan arah moral; ketika ia punya teknologi, tetapi kehilangan kedalaman spiritual; ketika ia punya kebebasan, tetapi kehilangan makna. Mimpi buruk terbesar umat manusia bukan terjadinya kiamat, melainkan ketika manusia tidak lagi merasa membutuhkan sesuatu yang lebih tinggi dari dirinya, tetapi juga tidak memiliki kedewasaan untuk menggantikan posisi itu. Hasilnya adalah dunia yang penuh kebisingan, penuh kecemasan, penuh kekosongan, dan penuh manusia yang berusaha menutupi kehampaannya dengan kekerasan, prestise, dan keserakahan.
Kita tidak jatuh ke era ini. Kita berjalan masuk dengan penuh kebanggaan. Era kegelapan ketuhanan bukanlah kekalahan Tuhan tetapi kekalahan manusia yang terlalu sombong untuk mengakui bahwa ia bukan pusat semesta. Era ini adalah manifestasi dari: kesombongan yang mengklaim dirinya kebebasan, keserakahan yang menyamar sebagai ambisi, dan kehampaan yang menyamar sebagai rasionalitas. Pada akhirnya, kegelapan ini bukan ancaman eksternal. Ia adalah produk intelektual manusia modern, dibangun dengan logika yang bengkok dan filosofi yang dipreteli hingga tak tersisa rohnya. Dan dengan segala ironi yang bisa ditampung oleh sejarah, kita menyambut era ini dengan tepuk tangan yang tidak sadar bahwa tepukan itu adalah bunyi dari peradaban yang mengubur sakralitasnya sendiri. Selamat datang. Selamat menyaksikan peradaban memakan dirinya tanpa rasa bersalah. Inilah Manifesto Era Kegelapan Ketuhanan.
DARKEST AEONS, Blitar City Black Metal & Doktrin Kegelapan Manusia yang Tak Terelakkan ! “Pada era ketika cahaya kehilangan keberanian, manusia justru menemukan bakat alaminya: merayakan keburukan tanpa malu.” Inilah asas kelam yang menjadi landasan DARKEST AEONS, entitas Black Metal dari Blitar yang tidak sekadar memainkan musik, mereka mendeklamasikan dosa bawaan manusia seolah itu adalah liturgi wajib dalam upacara kegelapan. Dalam atmosfer gelap yang mengental, band ini tidak hadir untuk membujuk, melainkan untuk menyindir, menghardik, dan mengutuk kelengahan moral umat manusia yang suka menutup mata sambil membanggakan kebejatannya sendiri. Blitar menjadi altar. Black Metal menjadi ritual. Dan manusia menjadi bahan bakar dari api kegelapan yang mereka nyalakan.
Dalam filsafat kuno, manusia disebut makhluk rasional. Dalam kenyataan modern, manusia lebih sering tampil sebagai makhluk yang merayakan keburukannya seperti festival tahunan tanpa tiket masuk. DARKEST AEONS mengadaptasi esensi itu: bahwa manusia adalah vektor utama kehancuran, pemahat tunggal tragedi global, dan arsitek dari kegelapan abadi yang kini merambat perlahan seperti jamur racun di dinding peradaban. Tidak ada meteor. Tidak ada murka langit. Tidak ada konspirasi kosmis. Yang ada hanyalah manusia dengan segala kemampuan destruktif yang ia rawat sendiri, seperti bunga busuk yang dipupuk oleh ambisi tak wajar dan kesombongan yang kronis. Mereka bukan sekadar buruk. Mereka konsisten dalam keburukan. Dan dari konsistensi itulah dunia merayap ke jurang kehancuran yang sempurna.
Lirik-lirik DARKEST AEONS bukan dibuat untuk kenyamanan, karena kenyamanan adalah candu yang membuat manusia lupa bahwa dirinya adalah sumber petaka. Lirik mereka adalah peluru ritual, amunisi sonik yang ditembakkan seperti mantra peperangan, menghantam dada moralitas palsu dan memanfaatkan brutalitas sebagai cermin agar manusia melihat wajah aslinya yang penuh retakan. DARKEST AEONS tidak berbisik, Mereka tidak merayu, Mereka menerjang. Setiap bait adalah deklarasi bahwa kebenaran tidak selalu datang dalam bentuk cahaya kadang ia datang dalam bentuk suara geram, terakan gelap, dan litani yang membakar ilusi moral manusia.
DARKEST AEONS tidak sedang mempropagandakan kegelapan. Mereka hanya mengajarkan manusia untuk melihat kegelapan yang sudah ia peluk sejak lama, kegelapan yang selama ini disembunyikan di balik kata “peradaban”. Bagi DARKEST AEONS, era kegelapan abadi bukanlah ancaman futuristik itu adalah kondisi kontemporer, realitas yang sudah kita hirup, hingga kita tidak sadar lagi bahwa udara yang kita nikmati adalah asap kebakaran yang kita nyalakan sendiri. Maka, dengan sarkasme yang lebih tajam dari ritual belati, DARKEST AEONS mengucapkan salam: “Selamat datang di DARKEST AEONS, di mana musik hanyalah medium, dan manusia adalah bahan bakarnya.”
English Version
MANIFESTO OF THE AGE OF DIVINE DARKNESS
A Philosophical Autopsy of a Civilization Digging Its Own Grave
On the brink of a civilization that continues to celebrate itself with empty pride, humanity must finally face the most brutal mirror in its history: the darkest age of darkness. Not cosmic darkness, not apocalyptic prophecies, not the wrath of heaven, but darkness born directly from humanity itself from ignorance polished into progress, from greed normalized, and from spirituality repackaged as moral decoration. Welcome to the Age of Divine Darkness, a time when the sacred is stripped bare, the sacred is degraded into rhetoric, and the divine is traded for the promotional price of human ambition.
Sacred values, once the core of human spirituality, have now turned into beautiful fossils that are merely displayed as nostalgic ornaments. Purity has not disappeared; it has simply been abandoned when humans realized that it is easier to worship themselves than to submit to something greater than their ego. Ironically, modern humans take great pride in enlightenment, when all they have done is turn on a neon light in a cave of ignorance and call it light. The existential emptiness is too embarrassing to admit. And when that value is no longer profitable, humans discard it like a draft that failed to attract the attention of the virtual world.
The era of modernization is often packaged as a great advancement for humanity. In reality, modernization is merely an acceleration toward the bankruptcy of values. Technology expands capabilities, but it also narrows inner depth. Civilization is accelerating, but understanding is becoming shallower. Humans are increasingly connected, but meaning is increasingly uprooted. And in that acceleration, humans no longer ask “who am I?” but rather “what else can I conquer?” Modernization contaminated by violence and lust for power turns humans not into civilized beings, but into more efficient predators.
In this era, humans no longer seek God; they have found a replacement: power. Power is the new altar where humans sacrifice their morals as offerings. The more greedy a person is, the more they are revered as a “visionary.” The more greedy they are, the more they are called “effective.” The more they manipulate, the more they are seen as “strategic.” Violence is no longer an accident of history, but a political instrument, an economic language, and a social ritual. Civilization now moves like a giant machine driven by two core energies: greed and fear. Greed to take, fear of losing. And in this dance of absurdity, humans are slowly erasing the values they once called sacred.
This so-called enlightened era actually reveals the darkest side of humanity: when it has power but loses its moral compass; when it has technology but loses its spiritual depth; when it has freedom but loses its meaning. The greatest nightmare of humanity is not the occurrence of the apocalypse, but when humans no longer feel the need for something higher than themselves, yet also lack the maturity to replace that position. The result is a world filled with noise, anxiety, emptiness, and people trying to cover up their emptiness with violence, prestige, and greed.
We did not fall into this era. We walked into it with pride. The era of divine darkness is not God's defeat but the defeat of humans who are too arrogant to admit that they are not the center of the universe. This era is a manifestation of: arrogance that claims to be freedom, greed disguised as ambition, and emptiness disguised as rationality. Ultimately, this darkness is not an external threat. It is a product of modern human intellect, built with twisted logic and philosophy stripped of its spirit. And with all the irony that history can contain, we welcome this era with applause, unaware that the clapping is the sound of a civilization burying its own sacredness. Welcome. Enjoy watching civilization devour itself without remorse. This is the Manifesto of the Age of Divine Darkness.
DARKEST AEONS, Blitar City Black Metal & The Inevitable Doctrine of Human Darkness! “In an era when light loses its courage, humans discover their natural talent: celebrating evil without shame.” This is the dark foundation upon which DARKEST AEONS, a Black Metal entity from Blitar, is built. They do not merely play music; they recite humanity’s inherent sins as if they were mandatory liturgy in a ceremony of darkness. In a thickening dark atmosphere, this band does not come to persuade, but to mock, rebuke, and condemn the moral negligence of humanity, which likes to close its eyes while boasting of its own depravity. Blitar becomes the altar. Black Metal becomes the ritual. And humanity becomes the fuel for the fire of darkness they ignite.
In ancient philosophy, humans were called rational beings. In modern reality, humans more often appear as creatures celebrating their own wickedness like an annual festival with no admission fee. DARKEST AEONS adapts that essence: that humans are the primary vector of destruction, the sole sculptor of global tragedy, and the architect of eternal darkness that now creeps slowly like poisonous mushrooms on the walls of civilization. There are no meteors. There is no wrath of the heavens. There are no cosmic conspiracies. There are only humans with all their destructive capabilities that they nurture themselves, like rotten flowers fertilized by unnatural ambition and chronic arrogance. They are not merely evil. They are consistent in their evil. And it is from this consistency that the world creeps towards the abyss of perfect destruction.
DARKEST AEONS' lyrics are not written for comfort, because comfort is an addiction that makes humans forget that they are the source of disaster. Their lyrics are ritual bullets, sonic ammunition fired like war mantras, striking the chest of false morality and using brutality as a mirror for humans to see their true, cracked faces. DARKEST AEONS do not whisper, they do not seduce, they charge. Every verse is a declaration that truth does not always come in the form of light; sometimes it comes in the form of a roar, a dark echo, and a litany that burns away humanity's moral illusions.
DARKEST AEONS is not propagating darkness. They are simply teaching humans to see the darkness they have embraced for so long, the darkness that has been hidden behind the word “civilization.” For DARKEST AEONS, the era of eternal darkness is not a futuristic threat; it is a contemporary condition, a reality we have been breathing in, until we are no longer aware that the air we enjoy is the smoke from the fire we ourselves have lit. Thus, with sarcasm sharper than a ritual dagger, DARKEST AEONS greets us: “Welcome to DARKEST AEONS, where music is merely the medium, and humanity is its fuel.”
